Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian Thomas F. Wall kaitan konsep worldview dan moralitas sangat jelas. Ia menyatakan: “kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama, jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia, tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati (empiris) dan di sana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supranatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percaya tentang arti hidup, hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.”
Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai realitas tertinggin dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang tampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis absolut. Struktur ontologis yang dalam terminologi Islam dikategorikan menjadi ‘alam al-mulk dan ‘alam al- shahadah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidak sekedar persoalan panca indra dan akal yang analitis yang bidang operasioanalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya realitas alam nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam berada di bawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu. Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam trasenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.
Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang stuktur, proses dan fungsi realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan Al Qur’an yang tidak diciptakan . Sebab keduanya mempunyai sistem ayat yang integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan Al qur’an adalh kitab yang tertulis. Dalam hal ini Al Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan memberik kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang tertinggi. Karena susunan dan sistem kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistem kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang merelekflesikan al Qur’an itu sendiri.
Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikian itu maka relaitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metrafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak tampak (invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akulmulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun, pandanganini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artifisal.
Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-ayat kawniyah dengan ayat-ayat qauliyah, inilah sejatinya framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi. Untuk lebih detailnya ilustrasi berikut ini menunjukkan peran pandangan hidup terhadap cara pandang sesorang terhadap realitas alam nyata. Contioh ynag paling sederhana adalah pandangan seorang pengamat peristiwa alam. Orang pertama mengatakan “saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutkan seperti apa yang terjadi”; orang kedua menyatakan “saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang saya lihat’; orang ketiga menyatakan “saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan semua itu bukan apa-apa kecuali setelah saya menyebutnya”. Masing-masing cara pandang di atas menunjukkan pandangan tentang bagaimana kita mengetahui.
Di Barat cara pandang orang pertama disebut dengan cara pandangan realisme; yang kedua dinamakan anti-realisme dan yang ketiga dinamai realisme kritis. Realisme berdalih bahwa pemahaman terhadap cosmos adalah langsung dan akurat serta tidak dipengaruhi oleh presupposisi dari worldview ataupun pengaruh-pengaruh subjektif lainnya. Pandangan ini berdasarkan pada empat premis dasar 1) realitas objektif dan independen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan bebas dari pengamat 3) manusia yang mengetahui memiliki kemampuan kognitif untuk memahami realitas yang tetap ini tanpa dibebani oleh tradisi atau kecendrungan personal 4) kebenaran dan pengetahuan tentang adalah ditemukan dan pasti, dan tidak diciptakan dan relatif. Ringkasnya, bagi seorang realis menolak masuk masuknya (interposition) apapun dari pikiran ke dalam diri pengamat dan objek yang diamati.
Sedangkan anti-realisme adalah pandangan yang memisahkan secara radikal apa yang ada di sana dan berbagai pandangan tentang itu. Di sini worldview mendominasi dan sistem kepercayaan tidak ada kaitannya dengan realitas, dan bahkan realitas dianggap tidak ada. Pandangan ini dapat dicirikan menjadi empat 1) meski mengakui bahwa dunia yang nampak ini mungkin saja ada, ciri-ciri objektifnya tetap saja kabur 2) pengetahuan manusia memiliki kelemahan dalam memahami alam seperti apa adanya 3) apa yang dianggap realitas adalah sesuatu yang dibentuk secara linguistik, produk akal manusia yang idealistis dan 4) konsekuensinya, kebenaran dan penegtahuan tentang alam, tidak ditemukan (dicovered) dan pasti, tapi diciptakan (invented) dan relatif.
Adapun realisme kritis (critical realism) menerima realitas objektif dan kemungkinan diperoleh ilmu yang dapat dipecaya tentangnya, bahkan juga mengakui adanya presupposisi yang menyertai manusia ketika mereka mengetahui sesuatu yang mendorong pembahasan kritis tentang esensi pengetahuan seseorang tentang itu. Proposisi aliran ini ada empat 1) realitas objektif dan endenpenden itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan independen dari pengamat 3) seseorang yang tahu, memiliki kemampuan kognitif yang dapat dipercaya untuk mengetahui realitas yang tetap ini, namun pengaruh presupposisi dan pandangan hidup serta tradisi menjadi prasyarat dan merelatifkan proses mengetahui itu dan 4) karena itu kebenaran dan pengetahuan tentang alam, sebagiannya ditemukan dan pasti dan sebagian yang lain diciptakan dan relatif.
Metode menegatahui dalam tradisi intelektual Barat seperti yang dipaparkan di atas dan juga metode-metode lain seperti metode rasional, empiris, dan kombinasi antara realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai asas-asas kognitif mempunyai kesamaan dengan tradisi keilmuan Islam. Namun, kesamaan dengan realisme kritis dan juga metode-metode lain hanya dalam aspek-aspek eksternal saja. Keduanya menggunakan medium yang sama untuk mengetahui, seperti panca indera eksternal yakni indera raba, bau, rasa, lihat dan dengar, dan panca indera internal seperti indera umum, representasi, estimasi, retensi, rekoleksi, dan imaniginasi. Keduanya sama-sama bersandar pada akal sebagai alat dan sumber pengetahuan. Selain itu realisme kritis menggunakan pandangan hidup (worldview) untuk mengetahui sesuatu dan tidak bisa menerima realisme karena menafikan kaitan antara worldview dengan realitas dan juga berseberangan dengan anti-realisme yang melepaskan pandangan hidup dan kepercayaan dari realitas. Realisme kritis menggabungkan objektifisme dan subjektifisme, mengakui alam nyata dan juga realitas manusia yang ingin mengetahui alam. Tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan kognitif manusia, tapi mengakui apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Perbedaan yang nampak pada prinsip epistemologis yang dilatarbelakangi oleh pandangan hidup. Jika realisme kritis mencoba menengahi cara pandang realisme dan anti-realisme,c ara pandang dalam pandangan hidup Islam telah bersifat tawhidi (integral), tidak dichotomis, tidak membedakan antara subjektif-objektif , tektual-kontekstual, historis-normatif, dsb. Prinsip epistemologi tentang kesatuan subjektif-objektif dalam Islam, misalnya, berdasarkan pada konsep manusia dalam Islam bahwa jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelegensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman inderawi dan dunia imaginasi. Artinya ketika seorang subjek yang memiliki pandangan hidup Islam akan melihat objek sesuai dengan prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam Islam dan akan memahami objek itu dengan cara pandangnya sebagai seorang muslim. Cara pandang yang dichotomis dalam cara berpikir barat tidak dapat diterima dalam epistemologi Islam karena ia memisahkan dua hal yang saling berhubungan yang mengakibatkan timbulnya paham-paham ekstrim seperti materialisme dan idealisme atau metodologi-metodologi yang sama ekstrimnya seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmastisme dan lain-lain.
Perbedaan prinsip epistemologi lainnya menurut Prof. Naquib al-Attas adalah dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran tertinggi. Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimanan pada Tuhan, mempengaruhi cara pandang muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kira asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai sistem integral yang mengambarkan realitas dan kebenaran. Hal ini berarti dalam Islam, ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan selain melalui media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan intuisi. Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan wahyu, hadith, akal, pengalaman, dan intuisi.
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu Al Qur’an sebagai kitab tertulis dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir. Seperti halnya kitab Al Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamat) dan ada pula ayat-ayat mutasyabihat (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan Al Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dna lebih tinggi dapat diperoleh.
Jika metode ini diterapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil. Jadi metode ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir terhadap suatu objek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula. Penggunaan metode ini menurut Al Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengalaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini Al Attas menyatakan:
“… di sana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh intelek;dan mereka memiliki ilmu yang dalam menerima itu semua apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang benar; artinya di sana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingan.”
Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisem dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat di jangkau oleh metode empiris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat Rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafata dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup Barat tidak dapat dianggap sma dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.
Meskipun pengaruh pandangan hidup terhadap epistemologi sangat besar, namun pengaruhnya terhadap setiap disiplin ilmu berbeda-beda. David K. Naugle dalam karyanya “Worldview, History of Concept” menyatakan:
“Implikasi epistemologis dari pandangan hidup berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Pandangan hidup nampak kuran berpengaruh (tidak untuk mengatakan tidak berpengaruh) dalam apa yang disebut ilmu eksak dan formal, tapi lebih banyak berepengaruh pada ilmu humaniora, ilmu sosial dan seni halus.”
David juga menjelaskan impak asumsi-asumsi pandangan hidup nampak lebih berkurang dalam praktek ilmu kimia dibanding ilmu sejarah, misalnya, dan bahkan lebih kurang lagi dalam bidang mathematika dibanding filsafat. Kecuali jika pembahasan menyangkut filsafat kimia atau matematika, karena yang dibahas bukan soal praktek ilmu ini tapi mengenai prinsip-prinsip utamanya atau filosofinya. Dalam kasus ini peran pandangan hidup sangat penting. Jika pandangan hidup tidak banyak berpengaruh terhadap sains keras (hard science) maka unsur realisme meningkat dan diskusi kritis mengenainya berkurang secara proporsional. Ketidaksepakatan di antara para praktisi bidang sains keras ini juga kurang meskipun mereka berbeda pandangan hidup.